Harga Batu Bara Galau, ‘Adu Kuat’ Lawan Energi Terbarukan

Jakarta, CNBC Indonesia – Harga batu bara kembali melemah setelah mengalami lonjakan dua hari berturut karena sentimen penguatan permintaan listrik India yang mencatatkan rekor sebelumnya. Namun, isu netral karbon atau net-zero karbon masih membebani harga batu bara.

Read More

Merujuk pada Refinitiv, harga batu bara ICE Newcastle kontrak Oktober ditutup di posisi US$ 161,50 per ton atau terkoreksi 0,92% pada perdagangan Rabu (27/9/2023).


Sektor batu bara di Asia telah berubah dari berpikir bahwa mereka berada dalam kondisi yang sangat buruk seiring dengan peralihan dunia menuju masa depan net-zero karbon, kini mereka melihat diri mereka sebagai bagian dari bauran energi selama beberapa dekade mendatang, sambil tetap meraup keuntungan.

Narasi bullish terlihat jelas pada pertemuan industri terbesar, konferensi Coaltrans Asia yang diadakan minggu ini di pulau resor Indonesia, Bali.

Hal yang berubah dalam industri batu bara adalah mereka tidak lagi percaya bahwa energi terbarukan dapat dimanfaatkan dengan cukup cepat, murah, dan dalam skala yang cukup untuk menyingkirkan bahan bakar fosil dari bauran energi Asia.

“Kenyataannya adalah permintaan batu bara akan terus meningkat,” ucap Septian Hario Seto, Deputi Investasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, pada konferensi tersebut.

Hal ini merupakan pandangan yang umum, di mana para delegasi menyatakan skeptisisme terhadap jalur menuju emisi net-zero yang dianjurkan oleh badan-badan Barat seperti Badan Energi Internasional (IEA).

Meskipun batu bara termal memang mendapat ancaman dari gas alam, pandangan hampir semua pelaku pasar, mulai dari penambang, pedagang, utilitas, dan pejabat pemerintah, berpendapat bahwa batu bara tetap menjadi alternatif yang lebih murah dan aman.

Terdapat juga kesadaran bahwa transisi energi memiliki arti yang sangat berbeda di berbagai wilayah dan negara.

Dapat dikatakan bahwa pelajaran yang diambil sebagian besar negara-negara Eropa dari lonjakan harga bahan bakar fosil dan kekhawatiran atas keamanan pasokan akibat invasi Rusia ke Ukraina adalah bahwa hal-hal tersebut akan mempercepat peralihan ke energi terbarukan.

Negara-negara Eropa mungkin mampu mengambil langkah-langkah tersebut dan memberikan komitmen miliaran dolar untuk membangun solusi pembangkit listrik tenaga angin, tenaga surya, dan penyimpanan dengan kecepatan yang dipercepat.

Pembelajaran yang terjadi di Asia tampaknya justru sebaliknya, dengan kekhawatiran utama adalah biaya energi.

Bagi banyak negara di Asia, terlalu mahal untuk beralih secara cepat ke energi terbarukan, mengingat besarnya investasi yang diperlukan untuk menata ulang jaringan listrik guna mengatasi pembangkit listrik tenaga angin dan surya, serta menerapkan kemampuan pembangkitan listrik untuk mendukung energi terbarukan, pasokan terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga gas, pembangkit listrik tenaga air yang dipompa, dan penyimpanan baterai.

Walaupun biaya panel surya dan turbin angin relatif murah jika dibandingkan dengan membangun pembangkit listrik tenaga batu bara, infrastruktur yang dibutuhkan untuk mendukung energi terbarukan tidaklah murah, dan hal ini menjadi perhatian utama negara-negara Asia.

Ada juga pandangan bahwa permintaan energi di Asia akan meningkat pesat dalam beberapa dekade mendatang dan untuk mencapainya berarti menggunakan semua sumber daya, termasuk simpanan batu bara dalam jumlah besar di negara-negara berpenduduk padat seperti China, India, dan Indonesia.

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Ulah Eropa! Harga Batu Bara Sepekan Melemah ke Level US$ 160

(saw)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts