Heru Hidayat Tersangka, SMRU Sekarat Hingga Gagal Bayar Utang

Jakarta, CNBC Indonesia – Emiten pertambangan dan sumber daya alam PT SMR Utama Tbk (SMRU) sedang dalam proses restrukturisasi utang. Hal ini lantaran anak usaha perseroan, SMRU Ricobana Abadi gagal bayar medium term note (MTN) atau surat utang jangka menengah. MTN tersebut sebesar Rp400 miliar dan jatuh tempo pada 20 Desember 2022.

Read More

Adapun MTN I Ricobana Abadi tahun 2017 diterbitkan pada 20 Desember 2017 dengan tenor lima tahun, dan jatuh tempo pada 20 Desember 2022. Manajemen perseroan pun menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan membayar MTN tersebut.

Pertama, kasus hukum yang menimpa Heru Hidayat selaku komisaris utama PT Trada Alam Minera (TRAM), pengendali perseroan, secara tidak langsung mempengaruhi kegiatan usaha, dan entitas anak. Terutama dalam hal pembatasan pembiayaan atas peremajaan alat-alat berat oleh berbagai lembaga pembiayaan baik bank dan non-bank dan pembatasan supply atas komponen dan sparepart dari alat-alat berat yang dilakukan oleh supplier.

“Di mana hal ini menyebabkan kemampuan handling pekerjaan penambangan menjadi menurun dan berdampak kepada penurunan pendapatan dan meningkatnya biaya operasional entitas anak mengingat beberapa supplier menerapkan kebijakan cash and carry untuk pembelian komponen dan sparepart alat berat,” kata Corporate Secretary PT SMR Utama Tbk Arief Novaldi, dikutip Kamia (12/2/2023).

Kedua, Arief menyalahkan pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia dan dunia. Karenanya, sejak tahun 2020 Indonesia mengalami dampak penurunan kegiatan ekonomi, salah satunya industri penambangan batu bara. Pada kuartal ketiga 2020 harga batu bara menyentuh level terendah dibanding tahun 2019. Itu tersebab permintaan ekspor dan domestik turun.

Akibatnya, sejumlah pabrik atau industri yang menggunakan batu bara harus menutup kegiatan operasionalnya. Sehingga pemilik tambang ikut turut mengurangi target produksi dari rencana awal sehingga lebih dari 50% dan ini berpengaruh pada pendapatan perseroan dan entitas anak perseroan.

Pemilik tambang mengurangi target produksi dari rencana awal lebih dari 50 persen. Awal 2021, harga batu bara mulai beranjak naik, dan mencapai level tertinggi sepanjang masa pada 2022. Lompatan harga batubara itu, berdampak pada peningkatan harga komoditas lain macam besi, karet, dan bahan peledak, mengakibatkan peningkatan biaya operasional entitas anak.

Sementara itu, terjadi peningkatan harga amonium nitrat sebagai bahan baku utama dalam peledakan operasional penambangan. Lonjakan harga komponen, sparepart, dan harga ban-ban alat berat. Kondisi itu, sangat mengganggu working capital anak usaha mengingat tarif pekerjaan penambangan pada kontrak kerja, dan pemilik tambang ditandatangani jauh sebelum terjadi peningkatan harga batu bara.

Ketiga, dicabutnya Izin Usaha Penambangan (IUP) entitas usaha, PT Delta Samudra pada 11 Februari 2022 oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dengan demikian, entitas anak usaha tidak dapat memanfaatkan lompatan harga batu bara dalam upaya-upaya melunasi kewajiban MTN.

Dan yang keempat, karena dihentikannya operasional entitas anak di area operasi milik PT Gunung Bara Utama (GBU) site Melak pada tanggal 18 Mei 2022 oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung). Kejagung juga turut menyita alat-alat berat entitas anak oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Sehingga entitas anak tidak dapat memobilisasi alat-alat beratnya untuk dapat di utilisasi di site lain atau untuk kontrak-kontrak baru guna mengupayakan pelunasan MTN.

“Sampai dengan saat ini, entitas anak masih menanggung beban operasional atas para pekerja yang dirumahkan dan pemeliharaan alat-alat berat tersebut sehingga sangat mengganggu working capital dari entitas anak Perseroan,” ungkap Arief.

[Gambas:Video CNBC]

(RCI/dhf)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts