Nasib Suku Bunga BI di Tangan Jerome Powell

Read More

Jakarta, CNBC Indonesia – Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22-23 November 2023 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 6,00%.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan keputusan ini tetap konsisten dengan kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah dari dampak tingginya ketidakpastian global serta sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor (imported inflation), sehingga inflasi tetap terkendali dalam sasaran 3,0±1% pada 2023 dan 2,5±1% pada 2024

“Sementara itu, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh melalui penguatan implementasi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) dan penurunan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) untuk mendorong kredit/pembiayaan kepada dunia usaha,” ujar Perry dalam paparan RDG BI, dikutip Jumat (24/11/2023).

Perry menjelaskan, keputusan suku bunga acuan ke depan akan bergantung pada beberapa hal. Terutama situasi Amerika Serikat (AS) serta respons Bank Sentral Federal Reserve (Fed).

“Jadi dinamika risk on risk off sangat uncertainty karena di AS ekonominya masih cukup kuat, inflasi sudah turun tapi lelet,” ungkapnya dalam konferensi pers, Kamis (23/11/2023).

BI memperkirakan ekonomi AS kuartal III-2023 masih tetap kuat. Sementara inflasi, meskipun terakhir ada penurunan ke posisi 3,2%, namun pada akhir tahun diperkirakan belum akan menyentuh 2%.

Yield obligasi Pemerintah negara maju, khususnya AS (US Treasury), naik tinggi karena premi risiko jangka panjang (term-premia) terkait tingginya kebutuhan untuk pembiayaan fiskal. “Kebutuhan utangnya melonjak yield tinggi,” kata Perry.

Perry masih melihat ada kenaikan suku bunga acuan AS pada Desember 2023 walaupun kemungkinannya kecil. Ke depan peluangnya juga akan bergantung pada capaian inflasi AS.

Dalam kondisi sekarang, Perry mengaku level suku bunga acuan sekarang mampu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai fundamental dan mengendalikan inflasi dalam 2,5% plus minus 1% pada tahun depan.

“Sampai info hari ini kami yakin suku bunga 6% itu konsisten dengan pencapaian inflasi tahun depan 2,5 plus minus 1 dan juga stabilitas nilai tukar rupiah,” ungkapnya.

Terkait dengan keputusan BI untuk menahan suku bunga ini, 5 ekonom top Indonesia memberikan pandangannya, berikut ini:

1. Putera Satria Sambijantoro, Bahana Sekuritas

Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro mengatakan keputusan BI mempertahankan suku bunga aacuan tidak berubah di 6% dibayangi oleh godaan untuk melakukan pelonggaran kebijakan.

Hal ini, menurut Satria, tampak pada paparan Gubernur BI. Perry menyiratkan adanya ruang untuk menurunkan suku bunga.

“Inflasi dalam negeri yang rendah, pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, terdapat ruang untuk menurunkan suku bunga jika hanya melihat perkembangan dalam negeri,” ungkap Perry.

Adapun terkait dengan rupiah, Satria menilai depresiasi rupiah selama 3 hari terakhir mungkin disebabkan oleh penetapan harga yang berlebihan di pasar forward/NDF.

“Bukan pelarian modal yang dipicu oleh perbedaan suku bunga,” tegasnya.

2. Josua Pardede, Bank Permata

Senada dengan Satria, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede melihat ruang bagi BI untuk menaikkan suku bunga acuan semakin sempit, terutama dilihat dari indikator fundamental ekonomi Indonesia.

Defisit transaksi berjalan pada 3Q23 menyempit menjadi 0,25% dari PDB, menandakan terbatasnya dampak normalisasi harga komoditas. Sementara itu, Rupiah juga mengalami rebound dalam 3 minggu terakhir, yang mencerminkan aliran masuk dari investor asing di pasar keuangan.

“Kondisi ini akan mendukung stabilitas Rupiah, yang pada akhirnya membatasi risiko imported inflation,” tegasnya.

Sementara itu, inflasi domestik juga masih tercatat di bawah 3%, yang mengindikasikan tingkat harga yang relatif stabil di Indonesia.

“Kami memperkirakan BI akan mempertahankan BI-7DRRR di level 6,00% hingga setidaknya paruh pertama tahun 2024,” papar Josua.

3. Andry Asmoro, Bank Mandiri

Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menilai kebijakan suku bunga acuan BI tetap ditahan di level 6% pada akhir 2023 dengan inflasi di kisaran 3%.

“Tingkat inflasi Indonesia menurun dan konsisten berada dalam kisaran sasaran 2% – 4%. Seiring perkembangan ini, kami berpendapat BI7DRRR saat ini sudah cukup untuk mempertahankan daya tarik aset Rupiah dan menarik aliran modal,” papar Andry, Jumat (24/11/2023).

Namun, dia tetap mengingatkan volatilitas pasar mungkin akan tetap tinggi dalam jangka pendek di tengah kekhawatiran mengenai perlambatan ekonomi global, kenaikan suku bunga jangka panjang, dan ketegangan geopolitik yang sedang berlangsung di Timur Tengah.

4. Senior Ekonom BCA, Barra Kukuh Mamia

Bank Central Asia (BCA) menilai kebijakan bank sentral mempertahankan suku bunga 7-day reverse repo rate sebesar 6,00%, berbeda dengan pertemuan sebelumnya.

“Keputusan untuk mempertahankan suku bunga kebijakan pada bulan ini banyak terdengar diantisipasi,” ungkap Senior Ekonom BCA Barra Kukuh Mamia dan timnya.

Menurutnya, salah satu indikator yang mendukung hal ini adalah tren penurunan imbal hasil yang diberikan pada lelang SRBI menjelang rapat kebijakan BI pada bulan November 2023, yang menunjukkan ekspektasi BI terhadap tingkat suku bunga jangka pendek yang lebih rendah dibandingkan perkiraan awal bulan ini.

Selain itu, dia melihat kinerja Rupiah yang luar biasa sepanjang bulan ini menjadi pendorong utama di balik keputusan BI untuk mempertahankan suku bunga kebijakannya.

“Mata uang tersebut berkinerja luar biasa kali ini sekitar, setelah memulihkan kenaikan year to date (ytd) karena mata uang tersebut terapresiasi sebesar 2,4% setelah titik nadirnya pada akhir Oktober 2023,” ujar Barra.

Penting untuk dicatat, kata Barra, bahwa kisah pemulihan mata uang ini tidak hanya terjadi pada Rupiah.

Dari catatan BCA, mata uang lain juga terlihat terapresiasi secara signifikan pada bulan ini.

Hal ini menunjukkan bahwa faktor pendorong di balik ketenangan relatif Rupiah (dan mata uang lainnya) pada bulan ini sebagian besar berasal dari faktor eksternal.

“Memang benar, indeks US dollar (DXY) sekarang menderita akibat hal tersebut pergeseran dovish dalam ekspektasi suku bunga, yang mulai muncul kembali setelah menurunnya IHK (inflasi) AS dan data pasar tenaga kerja yang diumumkan pada awal November 2023,” paparnya.

5. Bambang P.S. Brodjonegoro, Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia

Mantan menteri keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mengungkapkan upaya BI menahan suku bunganya pada bulan November ini merupakan langkah untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2023 dan menjadi landasan untuk pertumbuhan tahun depan.

Di sisi lain, dia menilai kebijakan ini dilakukan dalam rangka tetap menjaga inflasi di dalam sasaran, walau inflasi tetap berlanjut karena ada imported inflation, maupun karena harga pangan.

“BI dalam menjaga tingkat bunga, dia akan berpatokan terhadap yang namanya inflasi inti. Jadi BI ingin menjaga inflasi ini pada tingkat targetnya,” kata Bambang.

Bambang mengingkatkan BI perlu memperhatikan inflasi harga pangan bergejolak yang tingkatnya lumayan tinggi, serta inflasi harga yang diatur pemerintah, salah satunya BBM.

Untungnya, dia melihat kenaikan harga BBM tidak terjadi saat ini, karena ketegangan Israel dan Hamas, tidak meluas ke tanah Arab seperti krisis minyak tahun 1967 dan 1993.

“Dari situ saya yakin, BI sudah mempertimbangkan segalanya dan memperhitungan Federal Reserver tidak dalam kondisi agresif menaikkan suku bunga karena inflasi negara maju termasuk AS, meskipun belum turun, paling tidak belum ada kencenderungan naik,” paparnya.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Video: The Fed Kerek Suku Bunga 25 Bps Jadi 5,25%-5,5%

(haa/haa)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts