Pantas Uang di RI Makin Kering, Bank-bank Takut Kasih Kredit!


Read More

Jakarta, CNBC Indonesia-Bank-bank di Indonesia disebut sedang selektif dalam menyalurkan kredit. Merosotnya pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) dan meningkatnya risiko utang, serta global memicu bank untuk lebih pilih-pilih dalam menyalurkan uangnya.

Kepala Ekonom Bank Syariah Indonesia Banjaran Surya Indrastomo mengatakan permintaan kredit terhadap perbankan sebenarnya relatif meningkat. Hal itu terlihat dari data pertumbuhan kredit pada Oktober 2023 yang tumbuh sebesar 8,99% atau lebih tinggi daripada September 2023 yang hanya 8,96%.

Namun, kata dia, pertumbuhan permintaan kredit itu tidak diimbangi dengan pertumbuhan DPK. Dia menyebut pertumbuhan DPK di Oktober 2023 hanya sebesar 3,43% atau jauh lebih rendah dibandingkan pada September 2023 yang mencapai 6,54%. Keringnya likuiditas itu, kata dia, menjadi salah satu faktor perbankan menjadi lebih selektif dalam menyalurkan kredit.

“Efek sampingnya akan terlihat di mana perbankan akan selektif untuk booking pembiayaan besar. Jadi tadi permintaan dari sisi korporasi masih relatif strong, tapi memang DPK atau ketersediaan alat untuk disalurkan ini relatif harus diseleksi lebih lanjut,” kata Banjaran dikutip Kamis (6/12/2023).

Banjaran menuturkan melemahnya pertumbuhan DPK itu dipicu oleh dana bank yang ditempatkan di instrumen milik BI, seperti instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan Sekuritas Valuta Asing Bank Indonesia (SVBI). “SRBI dan SVBI di awal ini memang berkaitan dengan menarik USD ataupun investor luar negeri, tapi dalam kenyataannya di awal SRBI ini lebih banyak menarik dari dalam negeri,” kata dia.

Banjaran mengatakan perbankan saat ini juga masih menghitung-hitung risiko dalam penyaluran kredit. Kendati risiko pembiayaan saat ini menurun, kata dia, namun beberapa sektor seperti perdagangan besar, infrastruktur dan industri pengolahan yang mendominasi pembiayaan perbankan justru menunjukkan tren kenaikan kredit macet (NPL).

“Perdagangan besar dan industri pengolahan di mana bisa 30% dari total kredit, NPL-nya di atas 3,5%,” kata dia. “Peningkatan profil risiko yang membuat perbankan selektif untuk memastikan kualitas pembiayaan dan kreditnya ini tetap terjaga,” ujarnya.

Di sisi lain, Banjaran mengatakan perbankan juga memperhitungkan faktor global seperti kebijakan era suku bunga tinggi The Fed dan konflik geopolitik untuk menyalurkan kreditnya. “Pada saat yang sama dengan beberapa outlook higher for longer dan geopolitik ini mau tidak mau jadi salah satu alasan perbankan ini selektif di beberapa industri,” terangnya.

Sebelumnya, banyaknya dana bank yang masuk ke instrumen BI tersebut sempat menjadi perhatian Presiden Joko Widodo. Dalam acara Pertemuan Tahunan BI, Jokowi meminta perbankan tidak menghabiskan duitnya hanya untuk membeli instrumen BI dan Surat Berharga Negara (SBN). Jokowi bercerita mendapatkan keluhan dari banyak pengusaha gara-gara peredaran uang di RI yang makin kering.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan keputusan perbankan untuk masuk ke dalam instrumen BI maupun pemerintah bukan tanpa sebab. Dia mengatakan likuiditas perbankan saat ini memang sedang menurun dan di saat yang bersamaan permintaan kredit dari industri juga mengalami perlambatan. “Korporasi masih mendapatkan pembiayaan dari dana sendiri, sementara untuk kebutuhan penambahan pembiayaan ke perbankan itu relatif menurun,” kata Josua.

Dia menjelaskan dalam kondisi permintaan kredit yang cenderung turun itu, perbankan harus tetap mencari cara untuk bisa menghasilkan. Maka itu meski tak ideal, penempatan dana di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) menjadi salah satu opsi yang harus dilakukan oleh perbankan.

“Bagaimana kita harus mengoptimalkan pembayaran kepada deposan kalau tidak menempatkan dananya ke instrumen BI atau pemerintah, karena dari sisi permintaan kredit sendiri masih terbatas,” tutupnya.

[Gambas:Video CNBC]



Artikel Selanjutnya


IHSG Hijau Hingga Sektor Perbankkan Jadi Penopang

(mij/mij)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts