Pekan Ini Jokowi Akan Head to Head Lawan Fed, China & Jepang

Jakarta, CNBC Indonesia – Pasar modal dalam negeri (IHSG) melemah 0,19% di level 6.879,98 pada penutupan perdagangan Jumat (11/8/2023). Namun, dalam sepekan kemarin IHSG berhasil menguat 0,39%. Penguatan IHSG dalam pekan kemarin karena didukung oleh rilis kinerja keuangan perusahaan yang cemerlang.


Pergerakan IHSG yang tidak begitu volatil terjadi seiring sepinya perdagangan pekan kemarin. Nilai transaksi berada di bawah Rp 10 triliun, hanya sempat sekali menembus jumlah tersebut akibat adanya transaksi negosiasi yang terjadi pada perusahaan GEMS.

IHSG bergerak menguat sepekan kemarin di tengah sentimen negatif inflasi Amerika Serikat (AS). Data inflasi AS periode Juli 2023 yang dirilis pekan lalu menunjukkan jika inflasi AS mencapai 3,2% (year-on-year/yoy), meningkat dibandingkan 3,0% (yoy) pada Juni lalu. Meskipun demikian, laju inflasi di bawah ekspektasi sebesar 3,3% (yoy).

Dan pada pekan ini, pasar keuangan diperkirakan masih akan bergejolak mengingat banyaknya data dan agenda penting yang akan keluar dalam seminggu ke depan.

Beberapa sentimen terpenting pekan ini salah satunya akan datang dari Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Majelis Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Sentimen lainnya adalah data neraca perdagangan Juli. Sentimen dari luar negeri akan datang dari data pertumbuhan ekonomi Jepang, data penjualan ritel dan pengangguran China, serta risalah pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) Juli lalu.

Selengkapnya mengenai sentimen-sentimen tersebut dapat dibaca pada halaman 3 artikel ini.

Berbanding terbalik dengan IHSG, rupiah babak belur pada pekan kemarin. Merujuk dari Refinitiv, rupiah ditutup melemah 0,20% terhadap dolar AS di angka Rp15.210/US$1 bahkan sempat melemah hingga Rp15.235/US$1 pada perdagangan Jumat (11/8/2023). Secara mingguan, rupiah telah melemah 0,30%. Dengan demikian mata uang Garuda sudah melemah selama empat minggu berturut-turut.

ada Selasa (8/8/2023), rupiah bahkan ditutup di posisi Rp 15.215/US$1. Posisi tersebut adalah yang terlemah sejak 23 Maret 2023 atau empat bulan lebih.


Data inflasi AS dan deflasi China menjadi faktor pelemahan rupiah dalam sepekan kemarin. Meski inflasi AS bergerak sesuai ekspektasi pasar tetapi angkanya lebih tinggi dibandingkan Juni. 

Dampak dari situasi ini adalah potensi Bank Sentral AS (The Fed) untuk mengambil sikap dovish (kebijakan moneter longgar) masih terbatas. Kebijakan moneter yang tetap kaku dari The Fed berpotensi memperkuat dolar AS dan membuat mata uang lain, termasuk rupiah, melemah. Suku bunga yang tinggi cenderung mendorong investor untuk memilih aset aman seperti dolar AS.

Beralih ke pasar obligasi, yield obligasi pemerintah tenor 3-,5-,10- tahun naik. Hal ini berarti harga obligasi sedang melemah karena investor sedang tidak tertarik membeli obligasi  tenor tiga hingga sepuluh tahun.

Sedangkan untuk yield obligasi Surat Berharga Negara (SBN) tenor 15 dan 20 tahun turun. Hal ini berarti harga obligasi sedang menguat karena investor sedang membeli obligasi FR tenor 15 dan 20 tahun.


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts