Nasib Sang ‘Dewa Trader’ Bentjok Berakhir Dimiskinkan

Jakarta, CNBC Indonesia – Nasib nahas Benny Tjokrosaputro alias Bentjok, seorang dewa trader yang kini dipenjarakan akibat dari kasus Jiwasraya dan Asabri.

Read More

Tak hanya itu, Bursa Efek Indonesia (BEI) juga telah memperingatkan PT Hanson International Tbk (MYRX) bahwa masa penghentian sementara perdagangan efek atau suspensi saham MYRX telah mencapai 36 bulan pada tanggal 16 Januari 2023, sejak 16 Januari 2020 lalu.

Mengutip keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), mengacu pada peraturan Bursa Nomor I-I tentang Penghapusan Pencatatan (Delisting), saham MYRX dapat dikeluarkan dari BEI jika mengalami kondisi, atau peristiwa, yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha emiten, baik secara finansial atau secara hukum, atau terhadap kelangsungan status emiten sebagai perusahaan terbuka, dan perusahaan tercatat tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan III.3.1.2, saham emiten yang akibat suspensi di pasar reguler dan pasar tunai, hanya diperdagangkan di pasar negosiasi sekurang-kurangnya selama 24 bulan terakhir.

Adapun porsi pemegang saham MYRX saat ini, diantaranya, PT Asabri (Persero) sebanyak 9,4 miliar saham atau 10,85%, Kejaksaan Agung sebanyak 19,8 miliar saham atau 22,92%, dan sisanya yaitu masyarakat 57,4 miliar saham atau 66,23%.

Sebagai informasi, berdasarkan susunan Dewan Komisaris dan Direksi Perseroan per tanggal 13 November 2019, Hanson International Tbk masih dipimpin oleh Benny Tjokrosaputro yang menjabat sebagai direktur utama perseroan. Namun saat ini Bentjok ditetapkan sebagai tersangka kasus kejahatan korupsi.

Kabar terbaru, Benny Tjokrosaputro yang dijatuhi pidana nihil menjadi polemik dan kontroversi, sehingga Jaksa penuntut umum langsung menyatakan upaya hukum banding.

Putusan tersebut sangat mengusik dan mencederai rasa keadilan karena Benny Tjokrosaputro telah melakukan pengulangan tindak pidana dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya, sehingga seharusnya setelah diputus dengan hukuman seumur hidup dimana ada penambahan hukuman dengan hukuman mati, sesuai dengan doktrin hukum pidana.

Lalu, Majelis Hakim pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat keliru dalam menerapkan hukum karena Benny Tjokrosaputro terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Jaksa yakni Primair Pasal 2 dengan ancaman minimal 4 tahun penjara, sehingga penerapan hukuman nihil bertentangan dengan undang-undang tindak pidana korupsi.

Terakhir, proses hukum Benny Tjokrosaputro dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya memang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Namun yang bersangkutan masih memiliki upaya hukum luar biasa dan mengajukan hak-haknya untuk mendapatkan seperti grasi, remisi, amnesti, sehingga apabila dikabulkan, maka akan membahayakan bagi penegakan hukum, dan seharusnya ada persyaratan khusus dalam putusan a quo.

Lebih jauh dalam kesempatan di berbagai media, beberapa elemen akademi dan praktisi sependapat bahwa putusan tersebut harus diuji di tingkat pengadilan diatasnya yakni banding.

Kapuspenkum Kejaksaan Agung menyampaikan putusan tersebut jauh dari rasa keadilan dan menyebabkan ketidakpastian hukum. Pasalnya, putusan yang merugikan lebih dari Rp 40 Triliun apabila diakumulasi dengan 2 perkara yang dilakukan Benny Tjokrosaputro secara absolut mengingkari nurani keadilan itu sendiri.

Ini tidak saja merugikan kerugian Negara, tetapi merugikan masyarakat luas terutama pensiunan TNI dan Kepolisian Negara RI yang selama ini menjaga keamanan Negara.

Ada kesalahan yang sangat fatal dalam penerapan pasal 67 KUHP, disamping bertentangan dengan asas hukum yaitu lex specialis derogat lex specialis yang berlaku dalam undang-undang tindak pidana korupsi pada perkara a quo, juga tidak secara tegas pasal tersebut diterapkan bagi tindak pidana yang dilakukan secara akumulasi dalam perkara terpisah.

Selanjutnya, putusan tersebut akan menambah ketidakpastian hukum oleh karena hak Terpidana dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya dalam mengajukan upaya hukum luar biasa (PK) dan hak dalam mengajukan hak-haknya seperti remisi, grasi dan amnesti, justru akan melemahkan putusan yang pertama dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya, dan seharusnya putusan tersebut dibarengi dengan putusan bersyarat sebagaimana lazimnya dalam penegakan hukum.

Penerapan Pasal 67 KUHP jika sebagaimana dalam putusan a quo, akan menyulitkan bagi Jaksa dalam mengeksekusi harta benda Terdakwa dalam perkara PT ASABRI (persero). Padahal Benny Tjokrosaputro juga dijatuhi tindak pidana pencucian uang (TPPU) sementara harta yang telah disita dengan akumulasi kerugian Rp40 Triliun masih jauh dari kata penyelamatan. Hal inilah menurut Kapuspenkum Kejaksaan Agung sangat tidak adil.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Tjokro Cs, Keluarga Dalam Pusaran Kasus Korupsi Asuransi

(haa/haa)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts