Waspada! Gara-gara Ini, Pertumbuhan Kredit Tertekan di 2024


Read More

Jakarta, CNBC Indonesia – Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI mengungkapkan tingginya suku bunga kredit akan memberikan tekanan pada pertumbuhan kredit pada 2024. Tingginya bunga kredit dipicu oleh tren suku bunga tinggi.

Hal ini dituangkan dalam Indonesia Economic Outlook 2024 yang dirilis LPEM FEB UI. LPEM menilai ketatnya pasar tenaga kerja dan masih tingginya inflasi di beberapa negara maju mendorong berbagai bank sentral untuk menjaga rezim tingkat suku bunga ‘higher-for-longer’.

“Kondisi ketatnya kebijakan moneter global menggerus arus modal keluar dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dan menyulut terjadinya depresiasi pada mata uang negara tersebut,” kata LPEM UI, dikutip Rabu (22/11/2023).

Imbasnya, BI ‘terpaksa’ untuk secara aktif melakukan intervensi di pasar valuta asing dan bahkan menaikkan tingkat suku bunga acuan untuk meredam fluktuasi nilai tukar.

“Di 2024, kami berpandangan bahwa ruang untuk BI melakukan pelonggaran kebijakan moneter akan sangat dipengaruhi oleh posisi yang diambil oleh the Fed,” ungkapnya.

Apabila the Fed melanjutkan untuk menahan tinggi tingkat suku bunga acuannya, LPEM melihat BI kemungkinan juga harus mengambil langkah serupa untuk menjaga spread suku bunga acuan.

“Dalam skenario ini, tingginya suku bunga kredit akan memberikan tekanan pada pertumbuhan kredit di 2024,” tegas LPEM. Lebih lanjut, kebijakan moneter kontraktif yang diadopsi berbagai bank sentral dunia memicu perlambatan permintaan global dan menekan harga komoditas.

“Hal ini berpotensi memiliki implikasi lanjutan terhadap Indonesia pada aspek perdagangan seiring tingginya ketergantungan ekspor terhadap harga komoditas,” tulis LPEM dalam laporannya yang disusun oleh Jahen F. Rezki, Syahda Sabrina dan tim.

LPEM juga memandang depresiasi yang berkelanjutan juga menimbulkan risiko inflasi impor. Pasalnya, 90% dari impor Indonesia adalah bahan baku dan barang modal, depresiasi akan meningkatkan ongkos produksi domestik, membahayakan performa sektor manufaktur yang akan mempengaruhi pertumbuhan investasi kedepannya.

“Kombinasi dari arus modal keluar dan penurunan neraca perdagangan di tahun depan juga menimbulkan risiko naiknya defisit transaksi berjalan,” tegasnya.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, asumsi makro dalam RATBI 2024 ini mempertimbangkan perubahan kondisi ekonomi global dan domestik terkini, seperti melemahnya ekonomi global, inflasi yang tinggi, suku bunga acuan yang naik, serta penguatan dolar AS.

“Tadi kami sampaikan ada enam kondisi global yang berpengaruh: slower growth, high inflation, higher for longer suku bunga, kemudian strong dolar, maupun cash is the king yang berimplikasi pada kondisi ekonomi dalam negeri,” kata Perry saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Jakarta, Senin (13/11/2023).

Adapun asumsi makro yang ditetapkan dalam RATBI 2024, di antaranya pertumbuhan ekonomi pada 2024 yang hanya sebesar 5%, jauh lebih rendah dari prognosa 2023 sebesar Rp 5,01%. Pertumbuhan pada 2024 diperkirakannya didorong oleh permintaan domestik karena adanya kenaikan gaji ASN, penyelenggaraan Pemilu 2024, serta keberlanjutan pembangunan IKN.

Asumsi makro kedua ialah inflasi yang diperkirakan dalam RATBI 2024 sebesar 3,2%, naik dari prognosa untuk 2023 sebesar 2,84%. Peningkatan proyeksi tekanan inflasi ini menurutnya sejalan dengan permintaan yang masih baik di domestik dan dampak dari nilai tukar rupiah yang lebih lemah.

Untuk nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sendiri dalam RATBI 2024 diperkirakan sebesar Rp 15.510 naik dari prognosa 2023 sebesar Rp 15.280. Terutama dipengaruhi berlanjutnya ketidakpastian pasar keuangan global yang kemudian memengaruhi aliran modal ke negara berkembang dan memberikan tekanan kepada mata uang dunia.

Kendati begitu, Perry menegaskan, asumsi makro untuk rupiah yang sebesar Rp 15.510 itu jauh lebih kuat dibanding dengan proyeksi rata-rata pergerakan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat untuk kuartal IV 2023 yang akan berada pada kisaran Rp 15.755 per dolar AS.

“Nilai tukar rupiah Rp 15.510 ini menguat dari kondisi sekarang karena dengan perkiraan harapan tentu saja kondisi global itu akan berangsur-angsur mereda dan kemudian berpengaruh pada kembalinya aliran modal ke negara berkembang termasuk Indonesia,” ucap Perry.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Perang Bunga Kredit, Bank Rebutan Dana Murah

(haa/haa)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts